Pemerintahan baru yang dipimpin Prabowo Subianto akan dimulai pada 20 Oktober 2024. Pemerintahan baru tersebut menargetkan pertumbuhan ekonomi hingga 8% dalam lima tahun mendatang.
Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan (Zulhas) mengatakan, ada dua hal yang harus dilakukan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan tumbuh 8%. Dua hal yang dimaksud Zulhas adalah kebijakan pengendalian arus barang impor masuk pasar Indonesia dan diplomasi luar negeri.
“Tentu pertama, pasar dalam negeri. Waktu saya jadi menteri, agar kita tidak digempur produk luar, AS saja nggak tahan apalagi Indonesia, harus ada kebijakan yang melindungi pasar dalam negeri,” katanya saat membuka Trade Corner Special Dialogue CNBC Indonesia di gedung Kementerian Perdagangan (Kemendag), Kamis (29/8/2024).
Zulhas menjelaskan dalam pengendalian arus barang impor, pihaknya telah menelurkan Permendag No 36/2023. Di saat bersamaan kata dia, pemerintah juga memberlakukan mekanisme anti dumping dan tindakan pengamanan perdagangan.
“Lalu kedua, kita melakukan diplomasi di luar. Kita harus menguasai pasar dunia, kalau ekspor tetap seperti sekarang, nggak mungkin tumbuh 7-8%. Kita harus menguasai pasar dunia,” tegas Zulhas.
Untuk itu, katanya, kerja sama tim menjadi keharusan. Dengan begitu, upaya menjaga pasar dalam negeri tidak terganggu karena ada kebijakan yang justru menghambat.
Di sisi lain, Zulhas juga mengingatkan pentingnya perluasan pasar perdagangan ke berbagai negara, salah satunya di Asia. Menurut Zulkifli, pasar Asia memiliki potensi yang sangat besar. Hal ini didukung oleh letak geografis dan juga jumlah penduduk Asia yang sangat banyak.
Jika Indonesia tidak bisa memanfaatkan momentum tersebut, bukan tidak mungkin RI yang bakal diserbu produk-produk dari luar negeri. Melihat hal itu, diplomasi sangat perlu dilakukan, agar RI tidak hanya bergantung negara maju G7 yang menurutnya kini stagnan.
Apalagi negara-negara Eropa menerapkan berbagai aturan rumit yang menghadang produk-produk dari Indonesia, salah satunya kelapa sawit. Untuk itu harus ada perluasan ke pasar non tradisional.
Dia menyebutkan salah satu surplus tertinggi bukanlah dengan negara barat melainkan dengan India. Untuk Asia Selatan, ada Pakistan hingga Bangladesh, kemudian ada pasar Timur Tengah yang memiliki potensi besar.
Sementara itu, di acara yang sama, Ketua Bidang Kampanye Positif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Edi Suhardi berharap pemerintah, terutama Kementerian Perdagangan (Kemendag) bisa terus melakukan diplomasi dan juga meningkatkan misi dagang.
Edi juga mengingatkan bahwa yang harus ditingkatkan bukan hanya di pasar internasional, namun juga domestik. Edi merinci masih ada beberapa kebijakan yang memukul industri BMO.
Oleh karena itu, dia berharap pemerintahan mendatang bisa lebih berhati-hati dalam mengeluarkan kebijakan, apalagi kalau sampai kebijakan tersebut kontra-produktif.
“Kami optimis pemerintahan baru dengan berbagai targetnya juga bisa mendukung dengan infrastruktur dan regulasi agar pengembangan kebun-kebun bisa makin membaik. Ke depan, upaya kerja sama juga harus makin ditingkatkan seluruh stakeholder,” kata Edi.
Untuk diketahui, Uni Eropa memusuhi produk sawit asal Indonesia, bahkan tidak ragu ‘menjegalnya’ di WTO. Dia mengungkapkan CPO atau minyak kelapa sawit adalah produk yang murah dan kompetitif yang tidak bisa disaingi oleh Uni Eropa.
Untuk mencegah kelapa sawit, Uni Eropa pun mengenakan hambatan-hambatan perdagangan bagi Indonesia dan produsen lainnya. Beberapa hambatan tersebut seperti bea masuk anti dumping, tuduhan subsidi yang tidak adil dan hambatan lainnya.
Staf Khusus Menteri Perdagangan Bidang Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan Bara Krishna Hasibuan menambahkan bahwa pihaknya telah melakukan upaya-upaya untuk memenangkan pasar dalam negeri dari serbuan produk impor. Dia menegaskan pemerintah melalui Kemendag terus membantu industri domestik sesuai dengan peran dan otoritas yang berlaku.
Salah satunya mengubah aturan impor dari post border menjadi border. Artinya barang-barang tersebut tidak lagi bisa melewati pintu-pintu masuk sebelum diperiksa. Dengan adanya aturan border maka pemerintah bisa memastikan barang-barang tersebut memiliki izin dan sesuai ketentuan.
Kedua, untuk membantu dunia usaha Kemendag juga gencar melakukan promosi produk ke pasar global melalui atase-atase perdagangan. Kemendag menurutnya juga aktif membuka pasar-pasar non tradisional baru untuk memperluas jangkauan.
Tidak berhenti di situ, Kemendag juga mempercepat penyelesaian perjanjian perdagangan Indonesia dengan Uni Eropa atau Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA). Dengan adanya perjanjian dagang ini, produk-produk Indonesia yang diekspor ke Uni Eropa bisa bebas pajak bea masuk.
Kemendag kini tengah berkonsentrasi untuk segera menyelesaikan negosiasi dengan Uni Eropa.
“Sehingga kita konsentrasi di CEPA sebagai landasan hubungan dagang kita dengan Uni Eropa,” ucapnya.
Bara menegaskan hubungan dagang ini dianggap penting bagi kedua negara. Dia juga mengapresiasi komitmen kedua belah pihak untuk menyelesaikan negosiasi IEU-CEPA secara substansial sesegera mungkin.
“Kalau perundingan selesai maka akan menjadi demand condition,” sebutnya.
Bukan cuma sawit Indonesia, Nikel Indonesia juga diintai sejumlah ancaman. Sekretaris Umum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey salah satu ancaman terhadap nikel Indonesia adalah kampanye dirty nickel alias pertambahan nikel yang merusak lingkungan, yang digaungkan dari Barat.
Untuk itu, ujar Meidy, yang harus menjadi fokus adalah bagaimana agar perusahaan-perusahaan nikel di Indonesia lewat konsep environmental social governance (ESG). Di saat bersamaan, kata dia, perusahaan nikel di dalam negeri juga masih harus menghadapi gugatan Eropa yang dilayangkan lewat WTO.
“ESG yang dibuat Eropa dan negara lain belum tentu sesuai dengan kondisi kita di Indonesia. ESG yang disarankan manufaktur mereka. Mereka tertarik investasi di Indonesia, tapi maunya dengan syarat dan kondisi dari mereka. Nggak semudah itu. 20-30 tahun lalu mereka mungkin lebih kotor dari kita,” jelasnya.
Meski begitu, Meidy membeberkan kesuksesan kebijakan pemerintah RI melarang ekspor nikel mentah, yang kemudian direspons Eropa dengan menggugat di WTO. Bukan hanya Eropa. Kebijakan itu, katanya, juga mendapat penolakan dari berbagai negara.
“Tapi kalau pemerintah tidak paksa, tidak akan terjadi. Saat ini, sudah ada lebih dari 54 pabrik yang memproduksi pengolahan nikel. Ada 5 pabrik bahan baku baterai. Dan ini tidak berhenti di sini. Ada pabrik yang sedang konstruksi, ada yang sedang menyelesaikan perizinan,” ujar Meidy.