Hasil bumi Indonesia habis dikeruk, tetapi untungnya tidak dirasakan oleh negara dan rakyat Indonesia. Hal ini diungkapkan oleh Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas 2014-2015, Andrinof Chaniago.
Dia menyayangkan sumber daya alam di Tanah Air melimpah ruah ternyata hanya dinikmati oleh segelintir pihak. Padahal Pasal 33 UUD 1945 mengungkapkan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di bumi Indonesia dikuasai negara dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat.
“Gak dikuasai oleh negara dan digunakan oleh segelintir pihak. Itu yang melanggar,” kata Andrinof dalam Koneksi di Podcast Cuap Cuap Cuan, dikutip Rabu (4/12/2024).
Andrinof mencontohkan penerimaan negara saat kenaikan harga batu bara pada periode 2021-2023 yang tidak maksimal. Saat itu, dia menghitung seharusnya negara bisa untung sekitar Rp 1.000 triliun.
Padahal, nilai total produksi batu bara pada periode tersebut bisa mencapai Rp 3.000 triliun. Dari nilai tersebut, Andrinof mengatakan negara hanya mendapatkan ratusan triliun.
“Jadi kalau total produksi, selama dua tahun itu Rp 3.000 triliun lebih. Rp 3.000 triliun itu sudah hampir APBN satu tahun. Negara hanya dapat Rp 144 triliun. Yang ditahun keduanya itu, 2022, itu kalau gak salah Rp 150-an triliun. Itu dibanding nilai total tadi kecil sekali. Sementara itu ada harta rakyat, harta negara,” ungkapnya.
Sayangnya, cuan durian runtuh ini hanya dirasakan oleh segelintir pihak. Mirisnya, saat itu, banyak pengusaha batu bara yang memarkirkan dolar hasil ekspornya di luar negeri.
“(Untungnya) Berlipat ganda, sadisnya itu, yang diambil dengan mudah harta negara, dapat uang, uangnya sebagian ditaruh di luar negeri ketika negara sedang butuh investasi,” katanya.
Bahkan, saat itu, dolar hasil ekspor mereka dibutuhkan untuk memperkuat nilai tukar yang tertekan oleh dolar AS. Tidak sampai di situ, ketika harga batu bara naik, banyak pengusaha tambang yang meminta kenaikan kuota produksi. Eksploitasi berlebih membuat cadangan batu bara RI yang diprediksi bertahan selama 70 tahun semakin berkurang.
“Mungkin lebih pendek karena eksploitasinya 3 tahun – 5 tahun terakhir lebih (banyak). Ya sejak 5-6 tahun terakhir, ini yang saya sebut lonjakan kenaikan itu di masa Pak SBY itu, eksploitasinya jadi 250-an juta metrik ton, kemudian naik jadi 400-an juta metrik ton di akhir masa SBY dan awalnya masa Jokowi. Abis itu naik-naik terus, kemarin hampir 700 juta metrik ton per tahun,” paparnya.
Jika terus meningkat, Andrinof memperkirakan cadangan batu bara RI bisa berkurang menjadi 40 tahun.
“Kalau 700 juta metrik ton, besok lagi tembus 700 juta metrik ton, ya bisa cadangan tinggal 40 tahun. Kan udah kepotong 10 tahun,” katanya.
Ketika bumi habis dikeruk, angka kemiskinan di daerah penghasil tambang tidak pun membaik, meski ekonominya naik. Andrinof pun mengakui hal ini.
“Enggak karena itu data doang ya. Cuma dihitung ke nilai produksi dan nilai ekspor, tapi kan gak bicara ke sebarannya, ke multiplier effect dari uang itu.
Kalau kita bicara ekonomi kan harusnya gimana linkage-nya,” katanya.
Dengan demikian, dia menekankan bahwa ekonomi ekstraktif ini mematikan industri secara halus dan pelan-pelan karena yang pengusaha tambang tidak mau membagi margin keuntungannya.