Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat realisasi investasi di sektor Energi Baru dan Terbarukan (EBT) hingga Juni telah mencapai US$ 565 juta. Capaian tersebut setidaknya baru 45,9% dari target yang ditetapkan pada tahun ini sebesar US$ 1,232 miliar.
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Eniya Listiani Dewi mengungkapkan aturan pemenuhan ketentuan TKDN selama ini menjadi kendala dalam menarik investasi untuk pengembangan proyek EBT. Hal tersebut dapat terlihat dari capaian investasi sektor EBT tahun ini yang hanya hampir mencapai 46%.
“Nah, kita melihat untuk tahun ini saja capaian investasi dari energi baru terbarukan itu masih mencapai hanya 46% dari target satu tahun. Jadi ini pun masih banyak hal yang harus kita lakukan, terobosan,” kata Eniya dalam acara Energy Corner CNBC Indonesia, Selasa (13/8/2024).
Oleh sebab itu, ia berharap dengan adanya aturan ketentuan relaksasi TKDN, dapat mengakselerasi percepatan investasi berbagai proyek EBT di Indonesia. Mengingat, masih terdapat gap penambahan pembangkit berbasis EBT hingga 7,4 Gigawatt (GW) pada 2025.
Di sisi lain, Eniya menyebut bahwa berdasarkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030, kebutuhan investasi untuk proyek EBT hingga 2030 mendatang diperkirakan mencapai US$ 55,18 miliar atau Rp 876 triliun.
Sebelumnya, Eniya mengungkapkan potensi energi baru dan terbarukan (EBT) yang dimiliki RI tercatat mencapai 4 Tera Watt (TW) atau sekitar 3.687 Gigawatt (GW).
Menurut dia, dari jumlah tersebut energi surya mempunyai potensi yang paling besar. Adapun potensi energi surya yang dimiliki Indonesia tercatat mencapai 3.294 GW. “Kita sumber hampir 4 terawatt. Jadi sekitar 3687 GW dan ini terdiri dari surya potensi kita itu 3294 GW. Ini paling besar. PLTS paling besar karena diharapkan bukan hanya darat tapi juga floating PV juga termanfaatkan,” kata dia dalam acara Green Economic Forum 2024, Rabu (29/5/2024).
Eniya membeberkan dengan potensi energi surya yang cukup besar, maka pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) cukup menjanjikan. Pihaknya pun saat ini tengah mengkaji pengembangan PLTS Terapung di Atas Laut yang berlokasi di Cilamaya dengan potensi 2 Gigawatt (GW).
“Itu yang salah satu yang bisa dilihat bahwa potensi surya besar tapi instalasi hanya sekitar 537 MW. GW pun belum. Kita launch kuota PLTS Atap ada tambahan 1,5 GW dan floating di bendungan kita akselerasi 14 GW, tinggal kita manfaatkan semaksimal mungkin,” ujarnya.
Selain, energi surya, Indonesia juga memiliki potensi sumber energi tenaga hidro sebesar 95 Gigawatt (GW). Adapun saat ini kapasitas terpasang baru sebesar 6,7 GW.
“Angin sedikit lebih besar sekitar 155 GW. Angin banyak yang belum tersentuh. Jadi kita punya potensi besar di Kalimantan di sisi Kalimantan. Lalu di Sulawesi Selatan. Wilayah itu target pemanfaatan angin. Saat ini sangat kecil,” tambahnya.
Eniya menyadari potensi energi bersih di Indonesia cukup besar, namun demikian terdapat beberapa tantangan dalam pengembangannya. Misalnya seperti pengembangan untuk Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP).
“Panas bumi selalu terkendala lokasinya, kita kan ring of fire, dari seluruh Sumatera sampai Timur. Itu pemanfaatan panas bumi sangat kecil. Potensi 23 GW, tapi baru 2000 MW. Ini pun masih banyak investor yang saya sering dengar coba ganti mindsetnya. Kalau daerah tertentu, itu punya potensi panas bumi besar tetapi karena penduduk di sekitarnya kecil alias demand kecil itu tidak bankable,” tambahnya.