Peperangan yang terjadi antara Rusia dan Ukraina ikut memunculkan ancaman bahaya nuklir terbaru. Bahkan, bencana nuklir yang mengancam mirip dengan apa yang terjadi pada pembangkit listrik negara nuklir (PLTN) non aktif, Chernobyl, tahun 1986 silam.
Hal ini disebabkan pertempuran antara Rusia dan Ukraina di dekat PLTN Zaporizhzhia dan juga PLTN di Kursk. Pakar sejarah Serhii Plokhy menyebut kondisi peperangan saat ini yang sempat merusak beberapa fasilitas pembangkit itu dapat memicu Chernobyl baru.
“Hingga kita menemukan cara untuk melindungi PLTN yang ada, kita sama sekali tidak perlu membangun PLTN baru,” ujarnya dalam sebuah karya yang dikutip Guardian, Senin (26/8/2024).
“Sekarang bahkan Rusia menuding IAEA (lembaga atom dunia), mungkin ada peluang untuk melihat betapa tidak siapnya kita dalam menghadapi krisis nuklir dalam perang, ketika fasilitas yang dibayangkan sebagai atom untuk perdamaian justru menjadi atom untuk perang,” ujarnya.
Plokhy juga menjabarkan bagaimana perkembangan Rusia dan bekas wilayah Uni Soviet lainnya dalam menangani bencana nuklir pasca Chernobyl. Ia menyebut Rusia sejauh ini juga belum belajar banyak dari peristiwa itu sehingga perlu membangun protokol perlindungan lain untuk situasi normal di luar perang.
Hal ini dibuktikan dari bagaimana pasukan Moskow menduduki Chernobyl, yang notabenenya saat ini merupakan milik Ukraina dan masih tidak dapat dihuni oleh manusia.
“Ada episode dari konflik saat ini yang menunjukkan tingkat kecerobohan mereka. Ketika mereka menduduki lokasi itu, tentara Rusia mulai menggali parit, di zona eksklusi di tepi Hutan Merah,” tuturnya.
“Bukti menunjukkan bahwa pasukan wajib militer, tanpa pakaian atau peralatan pelindung apa pun, dengan riang menggali beberapa tanah radioaktif paling beracun di bumi,” katanya.
Di sisi lain, ia menyebut Ukraina seakan belajar banyak dari kejadian tersebut. Ia memandang Kyiv telah memenuhi sejumlah protokol dalam melindungi PLTN di tengah perangnya dengan Rusia.
“Kejutan saya saat mengunjungi kembali Chernobyl setelah tahun 1986 bukan hanya melihat seberapa besar Rusia tidak mengubah pendekatannya. Namun juga melihat seberapa jauh Ukraina telah meninggalkan budaya tahun 1986,” tambahnya.
“Orang-orang yang bertanggung jawab atas lokasi tersebut menaruh kepercayaan mereka pada peraturan dan protokol. Mereka yakin bahwa mereka akan menjadi pengkhianat jika meninggalkan stasiun tersebut.”
Maka dengan situasi ini, Plokhy juga menjelaskan bahwa menurutnya, IAEA dan dunia ke depan perlu protokol baru dalam melindungi fasilitas nuklir agar kejadian seperti Chernobyl tidak terulang kembali. Apalagi Rafael Grossi, kepala IAEA, akan mengunjungi PLTN Kursk pekan depan.
“Apa yang keluar dari Rusia untuk saat ini hanyalah retorika. Tetapi saatnya mungkin tiba ketika itu lebih dari sekadar upaya untuk menyalahkan orang lain dan mungkin protokol baru dapat didiskusikan,” ucapnya.