Sebanyak 2 juta orang di negara bagian Rakhine, Myanmar berisiko menghadapi kelaparan dalam beberapa bulan mendatang. Situasi ini terjadi akibat kudeta berkepanjangan yang memblokade perdagangan, menyebabkan keruntuhan ekonomi total.
Menurut penelitian dari Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP), negara bagian Rakhine, yang berbatasan dengan Bangladesh di sebelah barat, berada di ambang bencana.
Saat ini pendapatan masyarakat menurun, penanaman padi anjlok, dan pembatasan perdagangan yang diberlakukan militer menyebabkan kekurangan pangan yang parah dan hiperinflasi di wilayah tersebut. UNDP menyebut situasi ini terjadi lantaran militer menjatuhkan “hukuman kolektif” pada warga sipil.
Kanni Wignaraja, asisten sekretaris jenderal PBB dan direktur regional untuk UNDP mengatakan situasi di Myanmar belum pernah terjadi sebelumnya. “Kami belum pernah melihat ini sebelumnya – keruntuhan ekonomi yang begitu total,” katanya, seperti dikutip dari The Guardian, Minggu (10/11/2024).
“Jika ini diproyeksikan hingga tahun 2025, yang tampaknya sangat mungkin terjadi, maka Anda akan melihat hampir 2 juta orang berada di titik kelaparan,” katanya. “Banyak rumah tangga yang kami survei kini mengurangi jatah makan menjadi satu kali makan sehari – beberapa bahkan lebih sedikit.”
Wignaraja mengatakan ada juga peningkatan pinjaman, meskipun bahkan pemberi pinjaman uang tidak memiliki banyak uang untuk dipinjamkan.
Penelitian UNDP menunjukkan bahwa lebih dari separuh rumah tangga di Rakhine, sekitar 1,4 juta orang, akan mengalami penurunan pendapatan bulanan dari 66.600 kyat (Rp498.471) menjadi sekitar 46.620 kyat (Rp348.929) setelah eskalasi pertempuran akhir tahun lalu.
Jumlah ini hampir tidak cukup untuk menutupi biaya beras, bahkan tanpa memperhitungkan bahan makanan lain atau pengeluaran yang terkait dengan sewa atau tempat tinggal, transportasi, atau kebutuhan kesehatan.
Kenaikan Harga Pangan
Konflik di negara bagian Rakhine, di perbatasan Myanmar dengan Bangladesh, kembali meletus akhir tahun lalu, dan negara bagian tersebut masih dilanda pertempuran sengit antara militer dan Tentara Arakan, kelompok etnis Rakhine yang menginginkan negara otonom.
Laporan UNDP mengatakan pembatasan yang diberlakukan oleh militer “jelas ditujukan untuk mengisolasi Rakhine dari seluruh negara dan memberikan ‘hukuman kolektif’ pada populasi yang sudah rentan”.
Kepala Junta Min Aung Hlaing sebelumnya telah menolak tuduhan tersebut, dan malah menyalahkan Tentara Arakan karena “menghancurkan kehidupan sosial ekonomi penduduk, sektor pendidikan dan kesehatan”.
Situasi ini khususnya sangat menyedihkan bagi 511.000 orang yang mengungsi di Rakhine, termasuk Rohingya, yang bergantung pada bantuan dari lembaga kemanusiaan dan masyarakat.
Wignaraja menyebut akses “sangat terbatas” bagi lembaga bantuan. Ini terhambat oleh rintangan birokrasi yang diberlakukan militer, seperti persyaratan izin khusus, serta intensitas konflik.
Program kesehatan dasar seperti kampanye imunisasi telah dihentikan, pasien HIV tidak dapat mengakses obat antiretroviral. Pada Juli, lebih dari tiga lusin anak dipastikan meninggal selama wabah diare. Jumlah kematian sebenarnya bisa lebih tinggi.
Bahkan parasetamol pada dasarnya tidak dapat diperoleh karena harganya sangat mahal. Satu blister – strip berisi 12 kapsul – dijual dengan harga antara 6.000 hingga 7.000 kyat (Rp44.000-Rp52.000).
Konflik tersebut telah melumpuhkan sektor konstruksi, sumber lapangan kerja utama, dan memaksa ratusan ribu orang meninggalkan rumah mereka.
Pada saat yang sama, harga bahan makanan pokok seperti beras dan minyak goreng telah meroket hampir sepuluh kali lipat di daerah-daerah yang paling parah terkena dampak, menurut UNDP.
Diprediksi bahwa hanya 97.000 ton beras yang akan diproduksi tahun ini, cukup untuk memenuhi hanya 20% dari kebutuhan penduduk. Jumlah ini turun dari 282.000 ton tahun lalu, yang bahkan saat itu hanya memenuhi 60% dari kebutuhan.
Jumlah rute perdagangan yang membawa pasokan ke Rakhine telah turun menjadi dua dari 8-10 rute yang ada sebelum Oktober 2023. Wignaraja mengatakan penurunan ini disebabkan oleh berbagai faktor termasuk pembatasan yang diberlakukan militer, intensitas konflik, anjloknya permintaan karena pendapatan telah menghilang, dan pertumbuhan kegiatan ekonomi ilegal.
Myanmar telah dilanda konflik dan krisis ekonomi yang terus meningkat sejak militer merebut kekuasaan pada Februari 2021. Kudeta tersebut disambut dengan perlawanan keras dari masyarakat, dan banyak yang mengangkat senjata untuk memperjuangkan kembalinya demokrasi.
Kelompok etnis bersenjata yang lebih tua yang telah lama menginginkan otonomi yang lebih besar juga telah berperang melawan junta, terkadang berkoordinasi dengan kelompok yang lebih baru.