Singapura kembali melaksanakan hukuman mati pada Jumat (22/11/2024) dengan menggantung Rosman Abdullah (55), seorang terpidana kasus narkoba. Ini merupakan eksekusi ketiga dalam sepekan, meskipun PBB telah menyerukan penghentian hukuman mati tersebut.
Menurut Biro Narkotika Pusat (CNB) Singapura, Rosman dihukum mati karena terlibat dalam penyelundupan 57,43 gram heroin, jauh melebihi ambang batas 15 gram yang ditentukan hukum narkotika Singapura.
“Rosman telah melalui seluruh proses hukum dan didampingi penasihat hukum sepanjang proses tersebut,” kata CNB dalam pernyataan resminya, dilansir AFP.
Eksekusi dilakukan setelah dua pria lainnya, seorang warga Malaysia berusia 39 tahun dan warga Singapura berusia 53 tahun, dihukum mati pada 15 November atas kasus serupa. Hukuman mati terhadap Rosman menjadi eksekusi kedelapan yang dilakukan Singapura sepanjang 2024, dengan tujuh kasus terkait narkoba dan satu pembunuhan.
Berdasarkan catatan AFP, sejak melanjutkan hukuman mati pada Maret 2022 setelah dua tahun ditangguhkan akibat pandemi Covid-19, Singapura telah menggantung 24 orang.
Adapun PBB kembali menyerukan agar Singapura meninjau ulang kebijakan hukuman mati, terutama untuk kasus-kasus narkoba.
“Penggunaan hukuman mati untuk pelanggaran terkait narkoba bertentangan dengan hukum hak asasi manusia internasional. Ada makin banyak bukti bahwa hukuman mati tidak efektif sebagai pencegah kejahatan,” ujar Ravina Shamdasani, juru bicara HAM PBB, dalam sebuah pernyataan.
Meskipun mendapat kritik internasional, Singapura tetap mempertahankan pendiriannya. CNB menegaskan bahwa hukuman mati hanya diterapkan pada kejahatan paling serius, seperti penyelundupan narkoba dalam jumlah besar yang “menimbulkan kerugian serius bagi pengguna dan masyarakat.”
Pemerintah Singapura menekankan bahwa hukuman mati memainkan peran penting dalam menjaga keamanan negara yang dikenal sebagai salah satu tempat paling aman di Asia.