5 Senjata Bursa RI: 3 Hari IHSG Cetak Rekor Tertinggi Sepanjang Masa

Infografis/Edward Ricardo/Kinerja Emiten Baru 2019
Foto: Infografis/Edward Ricardo/Kinerja Emiten Baru 2019

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup bergairah pada perdagangan Rabu (21/8/2024) kemarin, di mana IHSG sudah perkasa selama empat hari beruntun.

Hingga akhir perdagangan kemarin, IHSG ditutup menguat 0,27% ke posisi 7.554,59. IHSG pun kembali mencetak rekor tertinggi sepanjang masanya (all time high/ATH) lagi kemarin. Adapun dalam tiga hari beruntun, IHSG berhasil mencetak rekor tertingginya.

Tak hanya kembali mencetak rekor, perdagangan pada hari ini juga cukup ramai meski tidak seramai sehari sebelumnya. Nilai transaksi indeks kemarin mencapai Rp 14,1 triliun dengan volume transaksi mencapai 23 miliar lembar saham dan ditransaksikan sebanyak 1,1 juta kali.

Kemarin, investor asing tercatat melakukan aksi beli bersih (net buy) hingga mencapai Rp 1,8 triliun di seluruh pasar, dengan rincian sebesar Rp 1,72 triliun di pasar reguler dan sebesar Rp 78,13 miliar di pasar tunai dan negosiasi. Dalam sepekan terakhir, asing sudah melakukan net buy sebanyak Rp 4,24 triliun.

Secara sektoral, sektor transportasi menjadi penopang terbesar IHSG di akhir perdagangan hari ini, yakni mencapai 0,88%.

Ada beberapa penyebab IHSG mencetak rekor tertingginya dalam tiga hari beruntun. Berikut penyebabnya.

1. Prospek Pemangkasan Suku Bunga The Fed dan BI

Prospek berakhirnya era suku bunga tinggi menjelang akhir tahun ini menjadi salah satu penyebab pelaku pasar masih optimis dan akhirnya membuat IHSG terus mencatatkan rekor.

Bank sentral Amerika Serikat (AS), Federal Reserve (The Fed) diprediksi akan mulai memangkas suku bunga acuannya pada pertemuan September mendatang. Namun saat ini, investor sangat menantikan rilis notulen dari pertemuan Federal Open Meeting Committee (FOMC) terakhir, serta pidato yang sangat dinantikan oleh Ketua The Fed Jerome Powell di simposium ekonomi Jackson Hole

Peristiwa-peristiwa ini diharapkan akan memberikan wawasan yang lebih dalam tentang rencana bank sentral untuk penyesuaian suku bunga di masa depan.

Di kesempatan sebelumnya, Powell menunjukkan bahwa pemotongan suku bunga sebesar 25 basis poin (bp) sangat mungkin terjadi pada pertemuan FOMC bulan September, meskipun ia menurunkan ekspektasi untuk pemotongan yang lebih agresif sebesar 50 bps.

Sentimen ini kemungkinan akan diperkuat oleh Presiden Bank Federal Reserve Atlanta, Raphael Bostic, yang dijadwalkan untuk berpartisipasi dalam “fireside chat” dalam waktu dekat.

Awal tahun ini, “dot plot” Fed menunjukkan total tiga pemotongan suku bunga seperempat poin pada tahun 2024, tetapi revisi Juni menunjukkan pendekatan yang lebih konservatif, dengan ekspektasi hanya satu atau dua pemotongan.

Tak hanya The Fed, Bank Indonesia (BI) juga diprediksi akan mulai memangkas suku bunga pada kuartal IV-2024, meskipun kini dolar Amerika Serikat (AS) sudah berada di level Rp 16.400 dan inflasi yang terjaga rendah.

“Kami masih tetap akan melihat ruang terbuka bagi penurunan BI rate pada kuartal IV,” ujar Perry.

Pernyataan ini tidak berbeda dibandingkan sebelumnya. BI masih melihat risiko yang harus diwaspadai, terutama dari situasi AS.

Perry menjelaskan, pada kuartal III-2024, fokus BI masih pada penguatan nilai tukar rupiah. Posisi BI rate yang sebesar 6,25% akan menjadi daya tarik bagi investor.

Sebelumnya kemarin, BI memutuskan untuk kembali menahan suku bunga acuannya di level 6,25%. Keputusan BI untuk mempertahankan BI rate sejalan dengan kebijakan moneter yang pro-stabilitas sebagai langkah pre-emptive dan forward looking untuk memastikan inflasi tetap terkendali dalam target 2,5±1% pada tahun 2024 dan 2025.

BI juga menyampaikan kebijakan makroprudensial dan sistem pembayaran tetap mendukung pertumbuhan ekonomi dan berkelanjutan.

Hasil tersebut sesuai dengan hasil konsensus yang dilakukan CNBC Indonesia yang menghimpun 13 lembaga/institusi. Dalam konsensus tersebut 12 lembaga memprediksi BI rate akan tetap di level 6,25% dan 1 lembaga memprediksi terjadi pemangkasan 25 (basis poin/bp) menjadi 6,00%.

2. Saham Perbankan Raksasa Sudah Pulih Dari Zona Koreksi

Seiring dengan terus membaiknya sentimen pasar global karena optimisme pelaku pasar global akan berakhirnya era suku bunga tinggi, saham perbankan terutama bank raksasa pun sudah mulai bangkit ke posisi Maret hingga April lalu.

Seperti contoh saham PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI) yang kemarin ditutup di level psikologis Rp 5.000 per saham, tepatnya di posisi Rp 5.100/unit, melesat 3,03%.

Begitu juga saham PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI), yang ditutup menguat 0,69% ke Rp 7.250/unit kemarin. Sejatinya, saham BMRI mulai bangkit sejak Juli lalu. Tetapi kini, BMRI makin mendekati rekor tertingginya di Rp 7.400/unit pada perdagangan 14 Maret lalu.

3. Saham yang Rentan Terhadap Suku Bunga Mulai Bangkit

Prospek berakhirnya era suku bunga tinggi membuat beberapa sektor saham yang sebelumnya tertahan karena tingginya suku bunga, perlahan mulai bangkit kembali. Adapun sektor tersebut yakni properti, konstruksi, otomotif, teknologi, dan konsumer non-primer.

Pada perdagangan kemarin, sektor transportasi menjadi penopang terbesar IHSG yakni mencapai 0,88%. Kemudian disusul properti sebesar 0,75%, kesehatan 0,67%, energi sebesar 0,42%, dan keuangan sebesar 0,24%.

Bahkan dalam beberapa hari terakhir, sektor konsumer non-primer terpantau melesat hingga 1% bahkan sempat 3% lebih pada perdagangan Selasa lalu, meski kemarin sektor ini terkoreksi 0,28%.

4. Rupiah Makin Perkasa, IHSG Ikutan Dapat Berkah

Tak hanya IHSG saja yang cukup perkasa, dalam beberapa hari terakhir rupiah juga cukup perkasa. Akhir-akhir ini, rupiah menguat tajam terhadap dolar AS berkat prospek pemangkasan suku bunga semakin dekat.

Sebelumnya pada akhir Juli lalu, rupiah masih berada di posisi Rp 16.295/US$. Namun pada perdagangan 8 Agustus lalu, rupiah sudah berada di bawah level psikologis Rp 16.000/US$, tepatnya di Rp 15.890/US$. Sejak saat itu, rupiah terus terapresiasi hingga kemarin sudah berada di Rp 15.480/US$.

Dalam sepekan terakhir saja, rupiah sudah melesat 1,31%. Sementara dalam sebulan terakhir, rupiah melonjak 4,77%.

Selain karena prospek pemangkasan suku bunga yang semakin dekat, lesunya dolar AS juga menjadi penopang rupiah dalam beberapa hari terakhir.

Indeks dolar (DXY) pada perdagangan kemarin melemah 0,35% ke posisi 101,08. Dalam sepekan terakhir saja, indeks dolar AS pun sudah merosot 1,35%.

Rupiah yang perkasa pun tentunya turut berimbas ke IHSG, karena saham-saham yang sebelumnya penguatannya tertahan karena mata uang Garuda terdepresiasi parah, kini mulai bangkit kembali.

5. Rupiah Perkasa, Saham Ini Mulai Bangkit

Perkasanya rupiah juga membuat saham-saham yang rentan terhadap depresiasi rupiah sebelumnya pun mulai bangkit, yakni saham di sektor kesehatan, konsumer non-primer, dan perbankan.

Dari sisi saham, beberapa diuntungkan karena rupiah terapresiasi cukup pesat yakni di sektor kesehatan seperti seperti PT Kalbe Farma Tbk (KLBF), PT Pyridam Farma Tbk (PYFA), PT Kimia Farma TBk (KAEF), PT Indofarma Tbk (INAF), dan lain-lain.

Sedangkan di sektor konsumer non-primer seperti PT Aspirasi Hidup Indonesia Tbk (ACES), PT PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF) dan anak usahanya, PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*